Tingginya
angka kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Jawa Tengah yaitu pada
tahun 2012 sebanyak 771 kasus, tahun 2013 sebanyak 1260 kasus, dan tahun 2014
sebanyak 805 kasus. Data tersebut belum termasuk kasus tak terlaporkan atau
telah terjadi kesepakatan damai antara pelaku dan keluarga korban (BP3AKB,
2015).
Data
kekerasan seksual terhadap anak bila ditelaah secara lebih rinci yaitu ditinjau
dari usia korban adalah :
Thn
|
2012
|
2013
|
2014
|
|||||||||||||||
Usia
|
0-5
|
6 - 2
|
13 - 18
|
0-5
|
6 - 12
|
13 - 18
|
0-5
|
6 - 12
|
13 - 18
|
|||||||||
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
|
Jml
|
16
|
52
|
21
|
87
|
69
|
406
|
13
|
42
|
28
|
69
|
72
|
358
|
17
|
102
|
87
|
173
|
42
|
603
|
Tabel
1 : Data Korban Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Tahun
2012-2014
Anak
sangat rentan terhadap terjadinya kekerasan seksual. Kerentanan ini terjadi karena anak tidak dapat
membela diri atau mengantisipasi situasi yang dapat mengarah pada kekerasan
seksual dan dengan adanya budaya di Indonesia yang menuntut anak ramah, patuh
dan hormat pada orang yang dituakan.
Dirasakan
sangat penting adanya upaya pencegahan yang dapat melindungi anak dari
perlakuan yang mengarah pada kekerasan seksual, menurut Lyness (dalam Maslihah,
2013) meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan
seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno,
menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Pencegahan merupakan cara
yang paling efektif dalam mengatasi kekerasan seksual (Guterman, 2001).
Upaya
pencegahan ini perlu disesuaikan dengan dunia anak yaitu bermain. Bermain
merupakan wadah bagi anak dalam mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya,
mengajarkan pada anak bagaimana mengidentifikasi situasi yang membahayakan dan
mengarah pada kekerasan seksual (Maslihah, 2013; Finkelhor, 2009; Wakensaw
dalam Chalidah, 2015). Melalui bermain anak mempelajari dunia, dirinya sendiri
dan orang di sekitarnya (Homeyers dan Morrison, 2008) sesuai dengan
perkembangan anak.
Kemampuan
dalam mengidentifikasi situasi yang ada di lingkungan dinamakan sebagai situation awareness (Sarter dan
Woods,1991), menjadikan seseorang waspada terhadap apa yang terjadi di
lingkungan sekitarnya dan di saat yang sama dapat memadukan kewaspadaannya
terhadap apa yang dilakukannya (Haines dan Flateau,1992). Dengan harapan
pengembangan kemampuan situation
awareness (SA) membuat anak mengenali situasi yang dapat mengarah pada
terhadap kekerasan seksual dalam bentuk permainan, dengan cara yang sesuai
dengan perkembangannya.
Terapi bermain banyak digunakan dalam
mengatasi trauma bagi korban kekerasan seksual (Jongsma, Peterson, Mclnnis,
2000), namun belum dilaporkan inovasi penggunaannya dalam mengedukasi anak agar
mampu mengantisipasi situasi yang mengarah kekerasan seksual melalui
pengembangan model bermain yang sesuai perkembangan anak.
1.
Model
Bermain
a.
Definisi
Model Bermain
1)
Definisi
model
Model merupakan suatu perwakilan dari suatu
gambaran atau komunitas atau sistem dan memiliki (Kuhne, 2005). Menurut Steinmuller
(dalam Kuhne, 2005) model merupakan informasi mengenai makna atau isi yang
diberikan oleh pengirim bagi penerima untuk digunakan. Sedangkan Monks dan
Masen (Putra, 2013) mendefinisikan model sebagai acuan dari suatu proses.
Definisi model berdasarkan pendapat tersebut
di atas adalah acuan dari suatu proses yang berisikan informasi bermakna.
2)
Definisi
bermain
Bermain
adalah suatu kondisi terasa lapang, mengembangkan pengalaman manusia, kaya dan
beragam di sepanjang waktu dan tempat (Eberle, 2014). Homeyer dan Morrison
(1988) menambahkan bermain adalah dunia alami anak, oleh karenanya bermain
sangat dibutuhkan bagi perkembangan anak.
Berdasarkan
pendapat di atas definisi bermain dapat disimpulkan sebagai dunia alami anak
yang menyenangkan, mengembangkan, memperkaya, pengalaman sepanjang waktu maupun tempat.
Berdasarkan
pendapat dari para ahli maka disimpulkan bahwa model bermain adalah suatu
gambaran tentang aktivitas anak yang sesuai dengan dunia alami anak yang
menyenangkan, memperkaya pengalaman.
b.
Manfaat
Bermain
Bermain
memberikan manfaat sebagai berikut memberikan ruang bagi aktivitas fisik, memberikan
kesempatan bagi otak bergerak dari kondisi memori non verbal ke frontal lobe
yaitu bagian otak yang berperan dalam pengambilan keputusan (Homeyer dan
Morrison, 2008).
Bermain
memberikan manfaat sebagai alat komunikasi
yang sesuai dengan perkembangan anak (Schaefer dalam Homeyer dan
Morrison, 2008), juga memberikan peluang bagi anak untuk bergabung dalam
suasana yang tidak menegangkan. Manfaat
lain dari bermain adalah melepaskan stress (Raman dan Singhal, 2015)
Dengan
demikian manfaat dari bermain disimpulkan sebagai alat komunikasi dan
ruang fisik yang memberi peluang bagi
anak untuk bergabung dalam suasana yang rileks dan melepaskan ketegangan.
c.
Tahapan
Perkembangan Bermain
Terdapat beberapa tahapan bermain
dari berbagai ahli diantaranya adalah menurut Uduchukwu (2011) bermain terbagi
menjadi dua katagori yaitu bermain aktif atau active play dan amusement,
dari ketua katagori bermain ini kemudian dibagi lagi kedalam beberapa tahapan
bermain.
Sebagaimana Mildred Patren (Gray, 2011)
membagi tahapan bermain kedalam enam bentuk interaksi antar anak yaitu :
a. Unoccopied Play yaitu anak hanya memperhatikan atau mengamati anak lain yang sedang
bermain di sekitarnya.
b. Solitary Play, pada tahap ini anak bermain sendiri tanpa melibatkan atau memperhatikan
kehadiran anak lain di sekitarnya.
c.
Onlooker Play, pada tahap ini anak telah
menunjukkan minat yang besar terhadap kegiatan bermain anak lain.
d.
Pararel Play, pada tahap ini seringkali terlihat
dua atau lebih anak melakukan kegiatan yang sama persih namun bila diperhatikan
lebih seksama tidak ada interaksi diantara mereka.
e.
Assosiative Play, pada tahapan ini terlihat adanya
interaksi diantara anak yang bermain namun belum menunjukkan adanya kerja sama.
f.
Cooperative Play, tahapan ini merupakan tahapan
paling tinggi yaitu telah terlihat adanya kerjasama dan pembagian peran di
antara anak yang terlibat permainan dan permainan tersebut berupaya mencapai
tujuan tertentu.
Tahapan bermain yang diajukan oleh Hurlock (Uduchukwu, 2011) terbagi atas :
1)
Free Spontaneous Play, pada tahapan ini anak bermain apa,
kapan dan dimanapun.
2) Dramatic Play / Discussing, tahapan ini memberikan sumbangsih terhadap perkembangan interpersonal dan
intrapersonal.
3) Constructive Play, anak melakukan permainan menggunakan bahan-bahan tertentu tanpa suatu
tujuan manfaat tertentu melainkan hanya untuk kesenangan.
4) Music, musik bisa bermakna bermain musik aktif maupun pasif tergantung bagaimana
menggunakannya, anak bisa menyanyi, main
musi, menari yang penting anak merasa senang.
5) Collecting, pada tahap ini anak-anak senang mengumpulkan benda – benda dan memainkannya
sebagai peralatan main peran.
6) Games and Sports, tahap ini bermain lebih pada pengembangan sosial dan fisik serta
memperkuat otot.
Dengan demikian disimpulkan bahwa bermain
terdiri dari dua katagori yaitu bermain aktif dan hiburan yang terbagi atas
beberapa tahapan yaitu tahap bermain spontan, tahap penonton, tahap main peran,
tahap bermain konstruktif dan tahap bermain bekerja sama.
2.
Situasion Awareness (SA)
a.
Definisi
Situation Awareness (SA)
Situasion awareness (SA)
sebagai persepsi terhadap elemen yang ada di lingkungan dalam suatu ruang,
memahaminya dan memproyeksikannya dalam waktu dekat (Endsley,1995;
Overgard, dkk. 2014).
Dalrymple
dan Schiflett (1997) mendefinisikan situation awareness (SA) bagaimana seseorang
berespon secara tepat terhadap isyarat-isyarat informasi penting yang ada di
sekitarnya.
Sedangkan
definisi yang diutarakan oleh Haines dan Flateau (1992) Situation Awareness (SA)
ialah kemampuan seseorang untuk tetap waspada terhadap segala sesuatu yang
terjadi dalam satu kurun waktu dan menerapkan perasaan waspada tersebut ke
dalam apa yang sedang dilakukannya saat itu.
Hartman
dan Secrist (1991) menambahkan Situation Awareness (SA) pada dasarnya suatu hal
yang bersifat kognitif walaupun tidak eksklusif dan diperkaya oleh pengalaman.
Berdasarkan berbagai definisi dari berbagai
pendapat tersebut, disimpulkan bahwa Situation Awareness (SA) adalah
kemampuan kognitif dan kekayaan pengalaman seseorang untuk dapat bersikap
waspada pada suatu situasi dan menerapkan perasaan waspada tersebut kedalam apa
yang sedang dilakukannya.
b.
Komponen
Situation Awareness (SA)
Komponen Situation Awareness atau
SA menurut Dalrymple dan Schiflett (1997) terdiri dari empat kunci
penting yaitu manusia, isyarat-isyarat informasi penting, isyarat perilaku dan
ketepatan respon. Dimana isyarat-isyarat informasi penting merujuk pada
stimulasi lingkungan yang diolah melalui proses mental. Sedangkan respon yang
tepat memiliki makna perbandingan antara respon dengan respon-respon yang
diharapkan atau bila dibandingkan dengan sejumlah respon yang mungkin
diharapkan muncul (Emerson dkk, 1987).
Dengan demikian komponen dalam Situation
Awareness (SA) dapat disimpulkan terdiri dari manusia, isyarat informasi
penting, isyarat perilaku dan ketepatan respon.
c.
Faktor-faktor
Mempengaruhi Situation Awareness (SA)
Faktor-faktor yang mempengaruhi situation awareness
(SA) antara lain adalah lingkungan (Endsley, 2001), perbedaan individual (Roberts dkk, 2015; van
Winsen dkk, 2015)
dalam membuat strategi untuk memanipulasi lingkungan dalam mengatasi tantangan.
Sedangkan Harwood dkk (1988) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap situation awareness (SA) dapat dinyatakan sebagai empat
kata tanya yaitu apa, dimana, siapa dan kapan. Apa menunjukkan kewaspadaan yang
berkaitan identitas, dimana mengacu pada kewaspadaan terhadap tempat atau
spasial, siapa merujuk orang yang bertanggung jawab atau otomatisasi dan kapan
merujuk pada kewaspadaan terkait dengan waktu atau temporal.
Berdasarkan
pendapat di atas maka disimpulkan faktor yang memperngaruhi situation awareness (SA)
antara lain yaitu manusia, waktu, tempat dan rangsangan lingkungan.
d.
Unsur
Situation Awareness (SA)
Situation Awareness (SA)
terbagi dalam tiga unsur perception, comprehention dan projection
(Endsley,
1995, Overgard, 2014). Perception
merujuk pada tanggapan atau wawasan, dinamika, dan elemen dari lingkungan dan comprehention
merujuk pada penggabungan / integrasi dan interpretasi informasi yang digunakan
untuk memahami apa yang terjadi dalam suatu situasi, sedangkan projection : mencakup estimasi dari seseorang mengenai
apa yang terjadi di masa yang akan datang.
Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa
terdapat tiga unsur dalam Situation Awareness (SA) yaitu persepsi yang
merupakan wawasan yang dimiliki seseorang terhadap perubahan dan bagian-bagian
dari lingkungan, komprehensi yang nerujuk pada penggabungan atau interpretasi
dari informasi yang dimiliki seseorang untuk memahami apa yang sedang terjadi,
dan proyeksi mencakup pertimbangan seseorang terhadap apa yang bisa terjadi di
masa yang akan datang.
3.
Kekerasan
Seksual Terhadap Anak
a.
Definisi
Kekerasan seksual terhadap anak
Definisi dari kekerasan seksual pada anak
adalah pemaksaan, ancaman atau memperdaya seorang anak untuk melakukan aktivitas
seksual yang meliputi : melihat, meraba, penetrasi (menekan), pencabulan dan
pemerkosaan (Paramastri, Supriyadi dan Priyanto (2010).
Selain definisi tersebut, ditemukan pendapat
dari Maslihah (2006) yang menyatakan bahwa kekerasan seksual ialah keterlibatan
aktivitas seksual seorang anak sebelum mencapai batasan umur tertentu yang
ditetapkan oleh hukum negara dengan orang dewasa atau anak lain yang usianya
lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih untuk
memanfaatkannya demi kesenangan seksual atau aktivitas seksual.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka
disimpulkan bahwa kekerasan seksual merupakan aktivitas seksual yang dilakukan
oleh anak di bawah usia delapan belas tahun termasuk anak dalam kandungan yang
ditentukan oleh hukum negara (UU Perlindungan anak No. 22 tahun 2003), dilakukan
oleh orang yang lebih dewasa atau memiliki pengetahuan lebih dan memanfaatkan anak
dengan memperdaya, memaksa dan mengancam.
b.
Dampak
kekerasan seksual
Kekerasan seksual menimbulkan dampak fisik yaitu adanya perlukaan pada
fisik, dampak sosial yang diterima mendapat kecaman dari lingkungan, menarik
diri, sedangkan dampak psikologis terjadi
trauma, takut, malu, upaya bunuh diri, paska-trauma stres disorder, imsonia,
mimpi buruk, depresi (Paramastri, Supriyadi dan Priyanto (2010), kecenderungan reviktimisasi
di usia dewasa (Weber dan Smith, 2011).
Penelitian relevan yang pernah dilakukan sebelumnya antara lain :
A.
Penelitian yang relevan
Penelitian yang dilakukan Solanki, Gokhale dan
Agarwal (2014) mengenai efektivitas terapi berbasis bermain terhadap perilaku
bermain pada anak dengan down syndrome menunjukkan peningkatan kemampuan
okupasi yang signifikan.
Sedangkan melalui penelitian yang dilakukan
oleh Turns dan Kimmes (2014) yang melakukan penelitian mengenai efektivitas
bermain dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial sesuai dengan tahap
psikososial Erikson. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Esmaeilzadeh
dkk (2014) yang melakukan penelitian mengenai efektivitas permainan linguistik
untuk meningkatkan keterampilan tata bahasa pada anak bergangguan pendengaran
dengan alat bantu dengar.
Efektivitas bermain sebagai upaya terapi pada
anak usia dini juga ditunjukkan dalam penelitian (Dilman Taylor dan Bratton,
2014) yang meneliti tentang penggunaan Alderian Play Therapy (AdPT) dengan
mempertimbangkan tingkat perkembangan anak usia dini. Penelitian yang dilakukan
oleh Iram (2009) yang menunjukkan pentingnya bermain dalam mempertahankan
proses berbagi pemikiran pada anak usia dini sesuai lajur tingkat perkembangan.
Selain penelitian di atas, penelitian yang
dilakukan oleh Paramastri, Supriyadi dan Priyanto (2010) tentang pencegahan
awal pelecehan seksual pada anak melalui terapi bermain. Hasil penelitian
diperoleh bahwa program prevensi dini
terhadap kekerasan seksual terhadap anak sangat dibutuhkan dan
pendidikan seks sejak dini agar diberikan.
Penelitian
– penelitian ini menunjukkan adanya relevansi dengan penelitian yang penulis
ajukan yaitu prevensi dini terhadap kekerasan seksual pada anak sangat
dibutuhkan dan bermain secara signifikan dapat meningkatkan kemampuan okupasi
yang dimiliki anak.
Budaya di Jawa yang membentuk warganya untuk senantiasa
bersikap ramah, menghormati orang tua atau orang yang dituakan. Sikap hormat yang
ditunjukkan melalui kepatuhan terhadap orang dewasa atau yang dituakan, ternyata
memberikan dampak lain yang negatif terhadap anak-anak. Anak-anak yang
disebabkan karena kepolosannya, ketidakberdayaannya, ketergantungannya terhadap
orang di sekitarnya, membuat seorang anak cenderung mempercayai orang di
sekitarnya secara mutlak. Dengan ditunjang pula oleh kurangnya pengalaman,
kurangnya pengetahuan mengenai bahaya - bahaya yang dapat mengancam keselamatan
dirinya dan belum memahami situasi yang dapat mengarahkannya ke dalam kondisi yang
sangat rentan sebagai korban kekerasan seksual (Grey, 2011).
Kerentanan anak terhadap kekerasan seksual ini
karena kemampuan waspada (Calitz, dan Flateau, 1992) dan berespon secara tepat terhadap
isyarat-isyarat informasi penting yang ada di sekitarnya (Dalrymple dan
Schiflett, 1997) atau disebut sebagai situation awareness (SA) belum berkembang sehingga
anak belum mampu melindungi dirinya dari kemungkinan terjadinya kekerasan
seksual pada dirinya. Prevensi dini dan mengedukasi anak dalam memproteksi
dirinya (Paramastri, Supriyadi
dan Priyanto, 2010), mengembangkan image positif dalam
mengantisipasi kekerasan seksual pada anak (Morawska dkk, 2015) melalui dunia yang
alami bagi mereka yaitu bermain (Eberle,
2014; Homeyer dan Morrison, 1988). Prevensi dini dan edukasi untuk
mengantisipasi situasi yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan seksual
dapat diberikan dalam kemasan yang menyenangkan, memberikan kesempatan bagi
anak lebih komunikatif dan eksploratif, melepaskan ketegangan dan yang
terpenting model bermain disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak yaitu
melalui bermain.
Untuk itu perlu adanya upaya pengembangan
model bermain dalam meningkatkan situation awareness (SA) dalam
mengantisipasi kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Tengah.
Daftar Pustaka
Borg, W. R., &
Gall, M. D. (1989). Educational Research-An Introduction, 5th Edition,
New York: Longman Inc.
Calitz, K. 2014. The Liability Of
Churches For The Historical Sexual Assault Of Children By Priests. Potchefstroom Electronic Law Journal.
Vol. 17 Issue 6, preceding p2452-2486. 36p. DOI: 10.4314/pelj.v17i6.06.
Chalidah, Ellah Siti. 2005. Terapi
Permainan Bagi Anak yang Memerlukan Layanan Pendidikan Khusus. Jakarta:
Depdikbud.
Dalrymple, M. A., and
Schiflett. S. G. 1997. Measuring situational awareness of AWACS weapons directors.
Situational Awareness in the Tactical Air Environment: Augmented Proceedings
of the Naval Air Warfare Center’s First Annual Symposium, CSERIAC SOAR Report#
97-01, WP-AFB: Ohio.
Dilman Taylor, Dalena., Bratton, Sue C., 2014. Developmental
Appropriate Practice: Adlerian Play Therapy with Preschool Children. Journal of Individual Psychology. Vol.
70 Issue 3, p205-219. 15p.
Eberle, Scott G. 2014. The
Elements of Play. American Journal of
Play. Volume 6, No. 2.
Emerson, T. J.,
Reising, J. M., and Britten-Austin, H. G. 1987. Workload and situation
awareness in future aircraft. SAE Technical Paper (No. 871803).
Warrendale, PA: Society of Automotive Engineers.
Endsley, M. R. 1995.
Toward a theory of situation awareness in dynamic systems. Human Factors, 37(1), 32-64.
Endsley, M. R. 2001.
Designing for Situation Awareness In Complex Systems. Proceedings of the Second International Workshop On Symbiosis Of
Humans, Artifacts And Environment, Kyoto, Japan.
Esmaeilzadeh, Sahar
Mohammad.; Sharifi, Shahla.; Nekah, Seyyed Mohsen Asghari.; Niknezhad, Hamid
Tayarani. 2014. The effectiveness of linguistic plays on the grammatical skills
of hearing-impaired children with hearing aids. Audiology. Vol. 23 Issue 5, p52-59. 8p.
Finkelhor, David. 2009. The Prevention of Childhood Sexual Abuse. Future of Children Journal. Vol. 19 no. 2.
Gray, Peter. 2011. The
Special Value of Children’s Age-Mixed Play. American
Journal of Play, volume 3, number 4.
Guterman, N. 2001. Stopping
Child Maltreatment Before It Starts. Thousand Oaks, CA: Sage.
Haines, R. F., Flateau,
C. 1992. Night Flying. Blue Ridge Summit, PA: TAB Books.
Hartman, B. O., and
Secrist, G. E. (1991). Situational awareness is more than exceptional vision. Aviation,Space,
and Environmental Medicine. 62. 1084-1089.
Harwood,
K., Barnett, B., and Wickens, C.. 1988. Situational Awareness: A Conceptual
Andmethodological Framework. In
Proceedings of the Psychology in the Department of Defense Eleventh Symposium
(Tech. Report No. USAFA-TR-88-1, pp. 316-320). Colorado Springs, CO: US Air
Force Academy (AD-A198723).
Hobbs,
G., & Hobbs, C. (1999). Abuse of children in foster and residential care. Pergamon. Vol. 23, h.1239–1252.
Homeyers, Linda E.,
Morrison, Mary O. 2008. Play Therapy. Practice,
Issues, and Trends. American Journal of
Play. Board of Trustees of the University of Illinois.
Iram, Siraj-Blatchford. 2009. Conceptualising progression in the
pedagogy of play and sustained shared thinking in early childhood education: A
Vygotskian perspective. Educational & Child Psychology. Vol. 26
Issue 2, p77-89.
Jongsma, Arthur E., Peterson,L Mark.,
Mclnnis, Willian P. 2000. The
Child Psychotherapy Treatment Plannaer. Toronto : John Willey & Sons, Inc.
Kaber,
David B., Endsley Mica R. 1998. Team Situation Awareness for Process Control
Safety and Performance. Process Safety
Progress. Vol. 17. No. 1.
Leedy,
Paul D.1985. Practikel Research. Planning and Design. 3rd edition. New York : Macmillan Publishing
Company.
Maslihah, Sri. 2006. Kekerasan Terhadap Anak: Model
Transisional dan Dampak Jangka Panjang. Edukid : Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini.I Vol.1. 25-33.
Moleong, Lexy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung
: Remaja Rosda.
Morawska, Alina. Walsh,
Anthony. Grabski, Melanie. Fletcher, Renee. 2015. Parental confidence and
preferences for communicating with their child about sexuality. Sex Education Journal. Vol. 15 Issue 3,
p235-248. 14p
Overgard, K. I.,
Sorensen, Linda J., Martinsen, Tone J., Nazir, Salman. 2014. Characteristics of
Dynamic Positioning Operators' Situation Awareness and Decision Making during
Critical Incidents in Maritime Operations. Proceedings
of the 5th International Conference on Applied Human Factors and Ergonomics
AHFE 2014, Kraków, Poland 19-23 July 2014. Edited by T. Ahram, W. Karwowski
and T. Marek.
Paramastri, Ira., Supriyadi., Priyanto, Muchammad A. 2010. Early
Prevention Toward Sexual Abuse on Children.
Jurnal Psikologi Volume 37, No. 1, Juni 2010: 1 – 12.
Putra, Nusa. 2013. Research & Development. Penelitian dan
Pengembangan : Suatu Pengantar. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
van Winsen, R.,
Henriqson, E., Schuler, B., & Dekker, S. W. 2015. Situation awareness: some
conditions of possibility. Theoretical
Issues In Ergonomics Science, 16(1), 53-68.
Raman, Vijaya dan
Singhal, Meghna. 2015. Play therapy with children: Its relevance and utility in
the Indian context. Journal Indian Assoc.
Child Adolesce. Mental Health Vol. 11(2):121-157.
Sarter, N. B., Woods,
D. D. 1991. Situation Awareness: A critical but ill-defined phenomenon. International
Journal of Aviation Psychology. 1. 45-57.
Solanki, Punita V., Gokhale, Preetee dan Agarwal, Priyanka. 2014. To
study the effectiveness of play based therapy on play behaviour of children
with Down’s Syndrome. Indian Journal of Occupational Therapy. Vol. 46
Issue 2, p41-48.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Edisi kelima. Bandung :
Tarsito.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV.
Alfabeta.
Terry, Karen J., Freilich, Joshua D. 2012. Understanding Child Sexual
Abuse by Catholic Priests from a Situational Perspective. Journal of Child
Sexual Abuse. Vol. 21:437– 455.
Turns, Brie., Kimmes, Jonathan. 2014. 'I'm NOT the Problem!'
Externalizing Children's 'Problems' Using Play Therapy and Developmental
Considerations. Contemporary Family Therapy: An International Journal.
Mar 2014, Vol. 36 Issue 1, p135-147.
Weber, Mark Reese.,
Smith, Dana M. 2010. Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of laters
Sexual Victimization. Journal of
International Violence. 26 (9): 1899-1905.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar